Beranda | Artikel
Tenteram, Indikasi Kebenaran?
Rabu, 25 November 2020

TENTERAM, INDIKASI KEBENARAN?

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin

Apakah kegiatan atau perbuatan yang mendatangkan ketenteraman di hati merupakan indikasi benarnya apa yang dilakukan? Terdapat satu ayat dalam Al Qur`an yang menegaskan, dzikrullah (berdzikir kepada Allah, mengingat Allah) dapat menenteramkan hati.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ

 (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati-hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berdzikir (mengingat) kepada Allah-lah, hati akan menjadi tenteram.[ar Ra’d /13 : 28].

Berkaitan dengan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan : “Maksudnya, hati akan menjadi baik dan menjadi senang ketika menuju ke sisi Allah. Hati menjadi tenang ketika mengingat Allah, dan hati merasa puas ketika merasa bahwa Allah adalah Pelindung dan Penolongnya”[1]

Sementara, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah, seorang ulama besar dunia yang hidup antara tahun 1307 H – 1376 H menjelaskan lebih rinci ayat di atas. Beliau mengatakan:

“Nyatalah, hanya dengan berdzikir mengingat Allah (hati menjadi tenteram), dan sewajarnyalah hati tidak akan tenteram terhadap sesuatupun kecuali dengan mengingat Allah. Sebab, sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang lebih lezat dan lebih manis bagi hati dibandingkan rasa cinta, kedekatan serta pengetahuan yang benar kepada Penciptanya. Sesuai dengan kadar pengetahuan serta kecintaan seseorang pada Penciptanya, maka sebesar itu pula kadar dzikir yang akan dilakukannya. Ini berdasarkan pendapat yang mengatakan, bahwa dzikir kepada Allah ialah dzikirnya seorang hamba ketika menyebut-nyebut Rabb-nya dengan bertasbih, ber-tahlil (membaca Laa ilaaha Illallaah), bertakbir dan dzikir-dzikir lainnya.

Namun ada yang berpendapat, yang dimaksudkan dengan dzikrullah (dzikir pada ayat di atas) ialah KitabNya (al Qur’an) yang diturunkan sebagai pengingat bagi kaum Mukminin. Berdasarkan pendapat ini, maka makna ‘hati menjadi tenteram dengan dzikrullah’ ialah, manakala hati memahami makna-makna al Qur’an serta hukum-hukumnya, hati akan menjadi tenteram. Sesungguhnya makna-makna serta hukum-hukum al Qur’an memberikan bukti tentang kebenaran yang nyata, didukung dengan dalil-dalil dan petunjuk-petunjuk yang jelas. Dengan cara demikianlah hati menjadi tenteram. Sesungguhnya hati tidak akan tenteram, kecuali ketika mendapatkan keyakinan dan ilmu. Itu semua hanya ada dalam Kitab Allah yang tertuang secara sempurna. Adapun kitab-kitab lain selain Kitab Allah yang tidak bisa dijadikan rujukan, maka tidak akan menjadikan hati tenteram. Bahkan kitab-kitab lain itu akan senantiasa menimbulkan kebingungan-kebingungan, karena dalil-dalil serta hukum-hukumnya saling bertentangan”[2]

Dari dua keterangan ulama besar di atas, ketenteraman hati yang hakiki hanya diperoleh ketika seseorang berdzikir kepada Allah secara benar dan memahami makna-makna serta hukum-hukum yang ada dalam al Qur`an secara benar pula.  Itulah ketenteraman hati yang sesungguhnya.

Persoalannya, apakah setiap kegiatan yang dapat mendatangkan ketenteraman hati, berarti pasti bahwa kegiatan itu benar? Mungkinkah seseorang mendapat ketentaraman hati sedangkan cara yang dilakukannya salah? Persoalan ini muncul sebagai syubhat yang sering terlontar untuk membenarkan kegiatan tertentu, dengan alasan dapat menenteramkan hati.

Untuk menjawab persoalan di atas, maka harus dikembalikan pada kaidah umum tentang ibadah. Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah meringkas penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Taqrib at Tadmuriyyah tentang syarat diterimanya ibadah.

Ibadah mempunyai dua syarat.

  • Pertama, Ikhlas hanya untuk Allah Azza wa Jalla . Yakni tidak memaksudkan peribadatannya kecuali untuk mencari wajah Allah dan mencapai negeri kemuliaanNya (di akhirat). Inilah realisasi dari syahadat Laa ilaaha Illallaah.
  • Kedua, Mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu tidak melakukan kegiatan peribadatan apapun, kecuali berdasarkan apa yang disyari’atkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Orang yang musyrik, tidak diterima ibadahnya karena kehilangan syarat pertama (yaitu ikhlas). Sedangkan ahli bid’ah tidak diterima ibadahnya karena kehilangan syarat kedua (yaitu ittiba’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Pembuktian tentang dua persyaratan ini terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagian dalil al Qur`an yang menunjukkan disyaratkannya ikhlas dalam peribadatan ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فَاعْبُدِ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَۗ اَلَا لِلّٰهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ

Maka sembahlah Allah saja dengan ikhlas, menyerahkan ketaatan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah sajalah agama yang bersih (dari syirik). [az-Zumar/39: 2-3].

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ

Dan tidaklah mereka disuruh kecuali supaya menyembah Allah saja dengan mengikhlaskan (memurnikan) ketaatan kepadaNya (dalam menjalankan agama) dengan lurus.[al- Bayyinah/98:5]

 وَلَوْ اَشْرَكُوْا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Seandainya mereka mempersekutukan Allah (tidak ikhlas), niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [Al-An’am/6 : 88].

Sebagian dalil dari Sunnah tentang disyaratkannya ikhlas, ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا أيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لامْرِئٍ مَا نَوَى: فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ هَاجَرَ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. (متفق عليه واللفظ للبخاري، وهناك ألفاظ أخرى)

Wahai manusia, sesungguhnya amal-amal perbuatan hanyalah tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya bagi seseorang hanyalah menurut apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya menuju Allah dan RasulNya, maka hijrahnya (akan sampai) kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang berhijrah menuju dunia yang ingin dia peroleh atau kepada seorang wanita yang ia ingin menikahinya, maka hijrahnya akan sampai menuju apa yang ia niatkan untuk berhijrah kepadanya. [Muttafaq ‘alaih. Lafadz di atas adalah lafadz Bukhari. Dalam Muslim, tanpa ada lafadz  “ya ayyuhan naas”][3]

Dalam hadits Qudsi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ. (أخرجه مسلم فى صحيحه)

Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman : “Aku adalah yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan amal perbuatan yang di dalamnya ia mempersekutukan Aku dengan selainKu, maka Aku tinggalkan ia bersama sekutu yang ia buat untukKu”.[Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya].[4]

Sedangkan sebagian dalil dari al Qur’an yang menunjukkan disyaratkannya mutaba’ah (mengikuti petunjuk atau jalan Rasul) ialah, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ ۚوَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖ ۗذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Sesungguhnya (yang Aku perintahkan) ini adalah jalanKu yang dalam keadaan lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian ituadalah wasiat Allah yang Ia wasiatkannya kepadamu agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa. [al An’am/6:153]

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali Imran/3:85].

فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ  

Maka orang-orang yang beriman kepada Rasulullah, memuliakannya, membelanya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al Qur`an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.[al A’raf/7:157].

Adapun sebagian dalil dari Sunnah tentang wajibnya mutaba’ah (mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), di antaranya ialah sabda beliau :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (متفق عليه، وهذا لفظ مسلم)

Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada padanya tuntunan syari’atnya dari kami, maka amalan itu tertolak. (Muttafaq ‘alaih. Tetapi hadits ini adalah lafadz Imam Muslim. Adapun lafadz yang Muttafaq ‘Alaih ialah :

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan agama kami ini, apa yang tidak berasal darinya, maka ia tertolak).[5]

Dari Jabir bin Abdillah, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Jum’at, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, di antaranya :

أما  بعد : فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. (أخرجه مسلم فى صحيحه)

Amma ba’du : Sesungguhnya sebaik-baik pembicaran adalah Kitab Allah,dan sebaik baik jalan (metoda) adalah jalan (metoda) Muhammad. Sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan secara baru dalam urusan agama, dan setiap bid’ah adalah sesat. [HR Muslim].[6]

Mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’ atau mutaba’ah) ini tidak akan terwujud, kecuali jika peribadatan yang dilakukannya benar-benar sesuai dengan syari’at, baik dalam hal sebab, jenis, ukuran, tata cara, waktu maupun tempatnya.[7]

Berdasarkan keterangan tersebut, maka kegiatan apapun yang dapat menenteramkan hati, harus memenuhi dua syarat di atas. Jika dua syarat itu tidak terpenuhi, maka kegiatan peribadatan apapun akan tertolak dan sia-sia, meskipun hati menjadi tenteram karenanya. Sebab ukuran kebenaran dan ukuran diterima atau tidaknya suatu kegiatan ibadah, bukan terletak pada bisa atau tidaknya menenteramkan hati, tetapi pada dua syarat yang telah dikemukakan di atas.

Bisakah perbuatan yang salah dan bid’ah mendatangkan ketenteraman hati?

Jawabnya adalah, bisa saja, sebab ketenteraman hati berkait erat dengan rasa. Bila seseorang merasa mantap dengan suatu kegiatan, bisa saja kegiatan itu mendatangkan ketenteraman di hatinya. Padahal kegiatan tersebut adalah kegiatan yang salah, dan bahkan mungkin sesat. Tetapi karena perasaannya menganggap kegiatan itu baik, sehingga melahirkan kesenangan tersendiri pada jiwanya. Namun, itu hanyalah kesenangan dan ketenteraman semu. Tidak akan berlangsung lama hingga di akhirat.

Bukankah, dengan bersemedhi ala Budha juga dapat mendatangkan ketenteraman hati bagi pelaku yang meyakininya? Tetapi semedhi yang mendatangkan ketenteraman ini jelas bathilnya. Demikian pula dzikir-dzikir bid’ah, wirid-wirid bid’ah atau kegiatan-kegiatan lain yang tidak berdasarkan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Meskipun mendatangkan ketenteraman di hati para pelakunya, tetap saja hal-hal itu tidak diridhai oleh Allah, tidak diterima di sisiNya dan merupakan kebathilan.  

Jadi adanya dalil yang menyatakan bahwa dzikrullah dapat menenteramkan hati, tidak lantas bisa diambil pengertian terbalik, yaitu tiap-tiap kegiatan atau tiap-tiap wirid atau tiap-tiap dzikir yang dapat menjadikan tenteram hati, berarti kegiatan-kegiatan itu pasti benar. Itu adalah anggapan yang keliru.

Demikianlah, hendaknya para hamba Allah berhati-hati dan senantiasa bertakwa kepada Allah.

Wallahu Waliyyu at Taufiiq. Wallahu a’lam.

Maraji’ :

  1. Tafsir Ibnu Katsir.
  2. Tafsir Taisir Karim ar Rahman.
  3. Taqrib Tadmuriyyah.
  4. Fathul Bari.
  5. Syarh Shahih Muslim.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1426/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, QS ar Ra’d / 13 ayat 28.
[2] Lihat Taisir al Karimir Rahman fi Tafsir Kalamal Mannan, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as Sa’di, QS ar Ra’d / 13 ayat 28.
[3] Lihat Fathul Bari XII/327, no. hadits 6953; Kitab al Hiyal, Bab Fi Tarki al Hiyal, dan seterusnya, dan Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, XIII/ 55-56, no. 4904.
[4] Lihat Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, XVIII/316, no. 7400.
[5] Lihat Fathul Bari, V/301, no. 2697, Kitab as Shulhi. Dan Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, XII/246 no. 4467 dan 4468.
[6] Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, VI/392 no. 2002.
[7] Lihat Taqrib at Tadmuriyyah, Tahqiq al Itsbat lil Asma’ wa Shifat wa Haqiqat al-Jam’i Baina al Qadari wa asy Syar’i li Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah, dibukukan dan ditakhrij hadits-haditsnya oleh Sayyid bin Abbas bin Ali al Julaimi, Maktbah as Sunnah, Kairo, Cet. I, 1413 H/1992 M, halaman 113-115, dengan bahasa bebas dan terdapat peringkasan di beberapa bagian.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/25102-tenteram-indikasi-kebenaran-2.html